Terinspirasi untuk Berbudaya

LVWM
2 min readAug 13, 2024

--

Ilustrasi Kain Tenun (Sumber: Freepik/fwstudio)

Dua hari ini aku menonton sebuah drama Korea (drakor) yang sangat menarik. Sepertinya sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak menemukan drakor yang menyentuhku, tetapi kali ini aku dipertemukan dengannya.

Drakor yang inspiratif, alami, dan membumi. Rasa-rasanya aku ingin menghubungi penulis kisah ini dan berterima kasih padanya.

Ternyata selama ini aku bukannya menjadi lebih cepat bosan atau terlalu pemilih. Tetapi nyatanya seleraku berubah dan atau aku semakin cepat tahu cerita yang cocok denganku dan yang tidak.

Start-up, judulnya.

Mulai dari episode pertama hingga episode sembilan sangat mudah dinikmati dan dipahami. Aku menangis terlalu banyak di episode pertama hingga seperti sesak napas.

Menyadari bahwa kejadian yang ku tonton tersebut bisa saja terjadi di dunia nyata yang kejam dan tidak adil ini. Sembilan episode dalam 2 hari, bukankah itu cukup berlebihan? Tapi aku senang!

Api ambisiku yang pelan-pelan ku kelola agar tidak membakar dan menyakiti diriku, semakin menyala. Namun kini lebih teratur dan tidak terburu-buru.

Menjadi seorang pengusaha masih cukup jauh bagiku, tetapi semangat belajarku belum padam. Suatu hari nanti … pasti ….

Entah sejak kapan aku mulai tertarik dengan bahan-bahan yang berasal dari negara ini, Indonesia, seperti tenun dan batik. Aku melihat bahwa dua buah kebudayaan ini sangat berpotensi untuk mendunia.

Tidak, bukan diriku yang pertama kali berpikir seperti itu, bahkan sudah banyak pengusaha yang mengglobalkan keanekaragaman lokal ini. Namun, apa peranku?

Teringatku dengan satu pengalaman dari seorang CEO. Beliau bercerita bahwa pengrajin yang mereka naungi untuk menghasilkan kain ecoprint kebanyakan yang telah berumur. Anak muda masih sedikit sekali. Mengapa begitu? Pikirku.

Fakta ini semakin menjadi anomali ketika ada berita bahwa pekerja yang telah berusia lanjut susah mendapatkan pekerjaan. Bahkan budaya kerja di negara ini dibanding-bandingkan dengan negara Barat yang lebih menghargai pekerja meski mereka sudah tua.

Mungkin kah teknologi yang menjadi penyebabnya sehingga para orang tua tersebut tidak dapat mengikutinya?

Dengan usaha yang ku renungkan saat ini, aku hanya ingin menunjukkan bahwa ‘orang yang ditolak’ tersebut memiliki harapan meski kemampuan dan pengetahuan mereka terbatas.

Asalkan ada kemauan untuk belajar, itu lebih dari cukup.

Tapi bagaimana caranya?

Ada beberapa hal yang ku pikirkan. Namun itu masih cukup jauh. Meski begitu, bukanlah suatu hal yang mustahil.

Dan hal terakhir yang ku pikirkan adalah bagaimana menaikkan value sebuah brand? Apakah dengan teknik marketing? Apakah dengan label tertentu? Atau memang dari kualitas produk tersebut? Atau bahkan feedback yang diberikan para pengguna produk tersebut?

Aku teringat dengan kolom komentar lagu-lagu Nadin Amizah, Sal Priadi, dan Yura Yunita. Para pendengarnya bercerita. Kisah-kasih mereka. Suka-duka mereka. Tutur batin yang mungkin mereka sulit katakan kepada dunia.

Itu dunia musik.

Apakah berlaku juga dengan produk-produk tertentu?

Aku penasaran.

--

--

LVWM
LVWM

No responses yet