Pertama Kali ke Jayapura, Papua

LVWM
5 min readJan 30, 2025

--

Mama Wely Pengrajin Papua (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pertengahan tahun 2023, aku mulai mengikuti Wike Afrilia, seorang content creator yang bertugas di pedalaman Papua. Melalui Instagram-nya, aku melihat kehidupan orang Papua yang begitu berbeda, begitu nyata, dan penuh cerita. Hampir setiap hari, Wike membagikan video-video tentang mereka — tentang senyum, tawa, dan perjuangan hidup yang sederhana namun penuh makna.

Sejak saat itu, aku sering menonton konten-konten tentang Papua dari berbagai akun reels. Hingga suatu hari, tanpa sadar, aku menulis komentar:

“Semoga suatu hari nanti bisa ke Papua.”

Aku bahkan pernah berandai-andai:

“Jika tidak menikah nanti, aku ingin mengabdi di pedalaman Papua.”

Dan ya, Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk menjawab doa-doa kecilku. Mimpi itu tidak hanya berhenti di angan-angan. Beberapa bulan setelah menulis status tersebut, aku mendapat kesempatan pertama untuk berinteraksi langsung dengan anak muda Papua.

Pertemuan Pertama dengan Anak-Anak Papua

Di awal Oktober 2023, aku mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dan mendukung anak-anak SMA Papua yang sedang mengikuti Business Plan Competition di IPB University, Bogor. Kebetulan, saat itu aku sedang bertugas di kantor Taman Kencana Bogor, sehingga bisa bertemu mereka secara langsung.

Melihat semangat dan antusiasme mereka, hatiku tersentuh. Mereka membawa cerita tentang tanah mereka, tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan. Dan di situlah, tanpa kusadari, benih kecintaanku pada Papua mulai tumbuh.

Mimpi yang Tak Sengaja Terwujud

Siapa yang menyangka? Beberapa bulan kemudian, atasanku menawarkan sebuah kesempatan:

“Apakah kamu ingin ke Papua?”

Tanpa ragu, aku mengiyakan. Ini adalah salah satu mimpiku yang tidak pernah benar-benar kuperjuangkan, tapi tiba-tiba diberikan begitu saja. Aku hanya perlu membawa badan dan kesehatan.

Tugas utamaku di Jayapura adalah memperkenalkan perusahaan dan melihat potensi produk khas Papua yang bisa dipasarkan secara nasional maupun global. Tentu saja, aku juga akan membeli sampel produk — alias oleh-oleh — untuk dibawa pulang.

Semoga di sana, aku bisa belajar banyak. Semakin membumi … karena tanah Papua adalah bagian dari Indonesia yang harus kita sayangi.

Ada tiga desa yang aku kunjungi selama satu minggu yaitu Desa Yansu, Desa Meyu, dan Desa Yenggu. Banyak hal baru yang ku temui di sana, mulai dari cara hidup masyarakat hingga permasalahan-permasalahan di lapangan. Sebelumnya aku hanya mengetahui Papua dari sosial media dan internet saja tanpa mengetahui fakta sebenarnya.

Catatan 19 Maret 2024

Suatu kehormatan bagiku disambut ramah oleh nanang (ibu-ibu) dan ayah (bapa-bapa) dari Desa Yansu. Berkenalan dengan 3 orang mama hebat dengan keunikannya masing-masing. Aku akan memperkenalkannya satu per satu.

Pertama, mama Aksa, seorang pengrajin noken. Beliau memiliki kelompok noken yang setiap hari Jumat berkumpul untuk belajar dan membuat noken bersama dari pagi hingga sore. Noken dapat dikreasikan menjadi tas, dompet, topi, karung, dan lain-lain dengan harga bervariasi. Mulai dari Rp100.000 untuk tas kecil hingga Rp1.000.000 untuk tas besar.

Benang noken terbuat dari batang tumbuhan mahkota dewa dengan buah berwarna kuning/putih. Batangnya dikeringkan kemudian dipisah-pisahkan menjadi benang-benang besar. Keunikan dari noken ini adalah tekniknya.

Benang-benang besar tersebut akan dipisahkan lagi menjadi benang yang lebih kecil untuk kemudian dipilin-pilin dan dikepang-kepang menjadi kreasi noken. Membutuhkan waktu hingga 3 hari dari proses pengeringan hingga tas noken kecil siap digunakan. Semuanya dilakukan dengan cara manual atau dengan tangan.

Sayangnya, para pengrajin noken ini memiliki banyak kendala, salah satunya pasar. Mereka tidak memasarkannya ke kota-kota, tetapi hanya menunggu pengunjung datang ke desa. Sehingga jangkauannya masih sangat terbatas.

Kedua, mama Wely, seorang pengrajin kreatif. Bahan baku apa pun yang dimiliki oleh mama Wely bisa diolah beliau menjadi suatu kreativitas. Mulai dari noken, kulit durian, kulit kayu, tanaman pinang, kerang pantai, kartu joker, hingga bulu kasuari. Sangat luar biasa talenta yang dimiliki beliau!

Namun sayangnya beliau belum mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya. Beliau membutuhkan modal untuk alat perkakas/pendukung serta akses pasarnya. Seperti mama Aksa sebelumnya, beliau hanya mengandalkan pendatang yang berkunjung untuk membeli cinderamata darinya.

Dan sayang sekali, anak muda di sana belum banyak yang tertarik untuk belajar kerajinan tangan seperti mama Wely, padahal jika dikembangkan akan sangat baik untuk perekonomian desa tersebut. Mama Wely sedang sakit, semoga lekas membaik dan semangat kembali.

Ketiga, mama Yohana, hobi memasak dan menemaniku sepanjang hari. Bersyukur ada mama Yohana yang bercakap-cakap denganku bahkan mengantarkanku ke rumah mama Wely yang cukup jauh. Sejak awal kedatanganku, beliau sudah menyambut baik dan bercerita banyak. Aku jadi tahu kondisi desa tersebut, salah satunya melalui beliau.

Desa Yansu membutuhkan tenaga ahli untuk membimbing mereka dalam mengembangkan komoditi yang ada, mulai dari labu siam, cabai, pisang, keladi, dan kelapa. Komoditi ini umumnya hanya diolah menjadi keripik dan dijual kepada tetangga saja. Malahan kelapa yang cukup melimpah, jarang yang mengelolanya untuk menjadi produk siap jual.

Mereka membutuhkan ilmu dan mau untuk berkembang. Buktinya, mereka beramai-ramai gotong royong bersama BLK (Balai Latihan Kerja) mendukung pembangunan pabrik olahan. Pabrik tersebut akan membantu warga dalam mengolah bahan mentah menjadi keripik, kue, dan olahan lainnya. Namun tetap mereka butuh pembinaan agar setiap prosesnya bisa berjalan dengan baik, terutama keselamatan kerja.

Hal unik lagi-lagi terjadi. Malam ini setelah kegiatan selesai, aku mengobrol dengan ibu dosen. Ibu dosen menceritakan kembali informasi yang beliau dapatkan dari warga setempat, terutama dari Iskandar, pemuda Desa Yansu sekaligus pengurus BLK:

Penjualan sayur-mayur dan jualan lainnya masih mengandalkan pemborong atau tengkulak. Warga menjual hasil panen mereka kepada pemborong dengan harga yang sering kali tidak sebanding. Salah satu alasan mereka melakukan ini karena perjalanan ke kota yang membutuhkan ongkos tidak sedikit. Hanya bawa badan saja, pulang-pergi Rp100.000. Jika membawa barang dagangan 7 karung misalnya, kena bayaran tambahan Rp250.000.

Hal inilah yang mau tidak mau membuat mereka menjual kepada pemborong yang datang ke desa-desa. Dan ibu dosen mention kata ‘koperasi.’ Jikalau ada koperasi di desa ini yang dapat membantu mereka dalam mendistribusikan hasil panen ke kota akan sangat baik. Lebih hemat biaya. Ini baru satu hal. Masih ada kendala lainnya.

Bagaimana jika tidak ada pembeli? Hal ini perlu dipikirkan juga. Hulu hingga ke hilir memiliki masalahnya masing-masing.

Ada satu skenario yang ku pikirkan untuk mengatasi masalah ini. Namun membutuhkan dukungan banyak stakeholders serta periode waktu yang cukup panjang. Entahlah, aku pun tidak memiliki wewenang apa-apa. Tapi aku akan mencoba melakukan yang terbaik. Demikian salah satu cerita perjalanan hari ini dan semakin menggugahku untuk terus berjuang di jalan yang tidak mudah ini.

— 23.28 WIT, rumah kakak Manu, Desa Yansu

Perjalanan ke Papua ini bukan sekadar tentang melihat keindahan alam atau mengenal budaya baru. Ini tentang memahami bahwa di balik setiap senyum dan tawa, ada cerita perjuangan yang patut kita dengar dan dukung. Demikianlah salah satu catatanku ketika berada di Papua. Aku semangat sekali untuk mengukir kenangan melalui tulisan agar suasana hati dan pikiran saat itu dapat kembali ku nikmati sepanjang masa. Kisah-kisah unik lainnya akan ku bagikan di lain hari ya!

--

--

LVWM
LVWM

No responses yet