Perjuangan Kemanusiaan Melawan Fanatisme Agama

LVWM
3 min read4 days ago

--

Perjuangan Kemanusiaan (Sumber Gambar: Freepik/freepik)

Apakah kamu termasuk orang-orang yang menormalisasi kekerasan dan kebencian terhadap sesama manusia dengan mengatasnamakan agama? Jika iya, maka selamat — kamu termasuk orang fanatik agama.

Fenomena ini bukanlah hal baru, terutama di negara-negara yang menerapkan hukum berbasis agama secara ketat. Sepanjang sejarah, agama sering kali dijadikan alat pembenaran untuk berbagai tindakan yang berujung pada penderitaan manusia. Beberapa contohnya dapat ditemukan di berbagai belahan dunia:

  1. Islam (Arab Saudi & Iran) — Rajam
    Di beberapa negara yang menerapkan hukum syariah ketat, seperti Arab Saudi dan Iran, hukuman rajam sampai mati masih digunakan dalam kasus perzinahan tertentu. Meskipun praktik ini sangat kontroversial dan tidak diterapkan di semua negara Muslim, masih ada laporan mengenai eksekusi semacam ini.
  2. Hindu (India & Nepal — Tradisi Sati, meskipun sudah dilarang)
    Sati adalah praktik di mana seorang janda diharapkan membakar dirinya di atas tumpukan kayu pemakaman suaminya. Meskipun telah dilarang secara resmi sejak abad ke-19 dan diperkuat dengan Undang-Undang Pencegahan Sati tahun 1987 di India, masih ada laporan kasus di daerah terpencil.
  3. Kristen (Eropa Abad Pertengahan — Pembakaran Penyihir)
    Selama masa Inkuisisi dan pengadilan penyihir di Eropa serta Amerika, ribuan orang — terutama perempuan — dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup atas tuduhan praktik sihir. Meskipun kini sudah tidak terjadi, peristiwa ini adalah bagian dari sejarah kelam ketika agama digunakan sebagai alat untuk menindas sesama manusia.

Agama telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dunia. Bahkan seorang ateis pun tidak bisa sepenuhnya menghindari dampak agama dalam kehidupan sosialnya. Pertanyaannya bukanlah apakah agama harus dihapus, tetapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa agama tidak lagi digunakan sebagai justifikasi untuk kebencian dan kekerasan.

Dilema Moral: Hati Nurani vs. Kitab Suci

Banyak orang beragama menghadapi pergumulan batin ketika menemukan ajaran dalam kitab suci yang tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Haruskah mereka mengikuti hati nurani dan akal sehat, atau tetap berpegang teguh pada teks kitab suci secara literal?

Aku sendiri mengalami pergumulan ini. Salah satu bagian dalam Alkitab yang sulit kuterima berasal dari Perjanjian Lama:

Ulangan 20:16–17
“Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kau biarkan hidup apa pun yang bernafas, melainkan haruslah kau tumpas sama sekali mereka itu, yakni orang Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi, dan Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.”

Bukankah ini gila? Tuhan dalam Perjanjian Lama tampak eksklusif, memberikan perintah untuk menumpas bangsa lain. Tetapi dalam Perjanjian Baru, Yesus membawa pesan yang berbeda:

Yohanes 13:34–35
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

Ini adalah kontras yang luar biasa — dari eksklusivitas menuju inklusivitas, dari perang menuju cinta kasih.

Meninggalkan Fanatisme, Merangkul Kemanusiaan

Sejarah telah mencatat bagaimana agama bisa menjadi alat kekerasan, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi untuk cinta kasih. Fanatisme agama harus dihentikan, bukan dengan menghapus agama itu sendiri, tetapi dengan mengembalikan esensinya: cinta, kasih, dan kepedulian terhadap sesama.

Hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan adalah sesuatu yang pribadi. Baik dalam bentuk ibadah, doa, maupun cara manusia mencari makna hidup — semuanya bersifat personal. Agama bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk lebih dekat dengan Tuhan, tetapi bukan untuk menghancurkan atau menghakimi sesama.

Aku pernah mendengar seorang pendeta berkata:
“Perbuatan baik manusia tidak menambah kemuliaan Tuhan, dan perbuatan jahat manusia tidak mengurangi kemuliaan Tuhan.”

Betapa dalamnya makna kalimat itu! Tuhan tidak akan kehilangan kemuliaan hanya karena kita berbuat dosa, tetapi manusia akan merasakan dampaknya. Sebaliknya, Tuhan juga tidak bertambah mulia hanya karena kita berbuat baik, tetapi manusia akan merasakan manfaatnya.

Jadi, pertanyaan yang lebih penting adalah: Apakah kita sudah berbuat kasih hari ini?

Fanatisme agama hanya menciptakan perpecahan, menumbuhkan kebencian, dan menanamkan eksklusivitas bahwa hanya kelompok tertentu yang benar. Inilah yang harus dihancurkan dalam perjuangan kemanusiaan kita.

Kita bisa mulai dari langkah kecil:
- Menunjukkan kebaikan kepada orang yang berbeda keyakinan.
- Berbicara dengan kasih, bukan dengan kebencian.
- Membantu mereka yang tertindas, tanpa peduli latar belakang mereka.
- Mendoakan bukan hanya mereka yang sepaham dengan kita, tetapi juga mereka yang berbeda.

Dunia ini sudah cukup gelap dengan peperangan, kelaparan, dan ketidakadilan. Jangan biarkan kita menjadi bagian dari kegelapan itu. Jadilah cahaya kecil — karena cahaya sekecil apa pun bisa menerangi kegelapan yang besar.

Sekarang, saatnya kita memilih: melanjutkan rantai kebencian atau memutusnya dengan kasih?

--

--

LVWM
LVWM

No responses yet