Siapa yang tidak suka dengan kekalahan? Banyak orang ku rasa. Apalagi kalah di hal-hal yang seharusnya kita mendapatkannya secara setara dengan manusia lainnya. Contoh kecilnya adalah pendidikan dan kesehatan.
Memang benar, terlahir miskin adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat diubah faktanya. Namun, apakah dengan begitu, kami yang miskin ini tidak layak mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak? Apakah kami ini dianggap hanya sebagai sapi perah yang dimanfaatkan hak suaranya untuk melanggengkan kekuasaan tertentu? Apakah suara kami semurah itu untuk diperjualbelikan?
Kami adalah orang-orang yang kalah sejak lahir. Kami tidak memiliki rumah, sawah, gedung tinggi, jabatan hebat, kesempatan ke luar negeri, bahkan pergi ke rumah sakit yang fasilitasnya semewah itu kadang kami senang. Bukan karena ada orang yang sakit, tapi karena bisa melihat keindahan arsitektur atau peralatan canggih yang hanya bisa dilihat di televisi.
Mengapa nyawa kami diperjualbelikan? Ketika kami sakit, kami tidak dianggap sepenting itu. Karena katanya kami hanya rakyat biasa yang tidak memberikan keuntungan apapun kecuali saat pemilihan umum. Selebihnya, kami hanya sampah, hanya menuh-menuhin negara. Kami seharusnya mati saja saat pandemi Covid-19 lalu. Toh, tidak ada yang merasa sedih-sedih amat karena kehilangan kami. Paling orang terdekat kami, itu pun kesedihan hanya satu bulan paling lama, selebihnya mereka terus menyambung hidup.
Kami hanya dijadikan produk oleh kalian. Internet yang sangat bebas itu adalah penyakit mematikan. Kami yang seringkali terlambat menyadari hal itu. Konten-konten yang kami scroll hingga berjam-jam adalah racun. Kami tidak sadar kalau waktu berharga kami direnggut oleh sekutu kalian — musuh kalian sebenarnya.
Memang sedikit humor yang kami dapatkan dari konten-konten itu dapat menghibur hari-hari kami yang berat karena pekerjaan. Tapi kami tidak sadar bahwa itu hanyalah pencucian otak. Kami jadi sulit untuk berpikir kritis. Kami jadi sulit melihat masalah utama yang sebenarnya terjadi. Kami hanya fokus kepada hal-hal remeh temeh yang justru menghancurkan persatuan kami — para proletar.
Kami disini mempermasalahkan si anu yang selingkuh dengan si anu atau si anu yang punya kulit tidak se-glowing si anu. Tidak penting! Fokus kami sudah teralihkan! Tidak bisa melihat kenyataan. Kami dininabobokan.
Mengharapkan ada wake up call di antara kami hanya membuang waktu. Biarlah segelintir dari kami yang sudah menyadari permasalahan ini tidak berhenti bersuara dan berteriak. Moga-moga ada waktu dimana bagian dari kami yang sedang tertidur dapat terbangun. Mereka yang sesama rakyat jelata seperti kami tetapi berharap bisa jadi penguasa seperti mereka.
Mereka yang menjilat pantat orang-orang penguasa. Harap-harap remah-remah harta dan jabatan dapat mereka cicipi. Meski harus dibenci oleh keluarga atau banyak orang. Meski harus masuk neraka.
Saya memilih menjadi bagian orang-orang yang kalah. Menjadi bagian orang-orang yang masih berharap ada keajaiban datang agar bumi ini lebih bersahabat. Mungkin saya juga termasuk orang-orang yang memilih kabur hanya untuk hidup tenang dan tidak diganggu oleh mereka, para penguasa. Biarlah saya tidak memiliki harta yang banyak atau tidak kenal oleh siapapun — hanya anomali. Tetapi hidup saya bahagia.